Judul : Asimetris
Durasi : 68 Menit
Produksi : Watchdoc
Produser : Indra Jati, Dandhy Dwi Laksono
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi ekspor andalan bagi
Indonesia. Hal ini tidak dapat dianggap remeh, sebab menurut data dari
Badan Pengelola Sawit mencatat bahwa ekspor sawit mencapai angka 25 juta
ton lebih setiap tahunnya. Selain itu, yang cukup membanggakan,
Indonesia merupakan negara pemasok sawit terbesar di dunia.
Seiring kemajuan teknologi Industri dan kebutuhan akan sumber daya
yang semakin meningkat, hasil olahan sawit bukan lagi sekedar
dimanfaatkan untuk produksi minyak goreng dan margarin semata. Jauh dari
itu, hasil olahan sawit juga dimanfaatkan untuk berbagai keperluan,
misalnya untuk bahan campuran BBM yang kini kita kenal sebagai Bio
Solar, bahan pembuatan sabun, bahan penyuplai energi listrik, bahkan
belakangan ini ilmuwan mengembangkan bahan bakar pesawat terbang (avtur)
yang memiliki kandungan kelapa sawit guna mengurangi konsumsi minyak
bumi. Sehingga bisa dikatakan bahwa kelapa sawit begitu dekat dengan
kebutuhan manusia.
Seiring meningkatnya kebutuhan akan kelapa sawit dan untuk
menanggulangi kebutuhan jangka panjang, serta didorong oleh besarnya
permintaan dari pasar internasional, menyebabkan meningkatnya pembukaan
lahan sawit, terutama di wilayah Kalimantan, Sumatera dan Papua.
Tercatat sampai tahun 2016 sudah muncul jutaan hektar lahan konsensi
sawit baru di Kalimantan dan Sumatera.
Namun gemerlapnya industri kelapa sawit dan besarnya nilai ekspor
komoditi tersebut tidak diimbangi dengan kesejahteraan dan kelestarian
lingkungan atas eksplorasi sawit tersebut. Maka disini Watchdoc selaku
produser film dokumenter tersebut mengistilahkannya dengan ‘Asimetris’.
Film dokumenter ini berupaya mengungkap sisi lain dibalik gemerlapnya
industri kelapa sawit yang dibanggakan pemerintah sebagai salah satu
penghasil income terbesar dan penyuplai pembangunan Nasional.
Hal utama yang disorot dari film tersebut adalah maraknya eksploitasi
lahan dan alienasi di lingkungan konsensi sawit. Luas lahan sawit yang
sedemikian besar itu dikuasai oleh beberapa perusahaan raksasa, baik
nasional maupun multinasional. Selain itu, seiring meningkatnya
pembukaan lahan sawit menyebabkan masyarakat sekitar kehilangan mata
pencaharian dan kesulitan mengakses sarana kehidupan yang layak akibat
berbagai kerusakan yang disebabkan eksploitasi perkebunan sawit.
Selain itu, bagi pemilik lahan sawit lokal yang menjadikan sawit
sebagai mata pencahariannya menganggap munculnya lahan-lahan sawit baru
milik pemodal besar tersebut tentu sangat mengganggu karena sawit
masyarakat lokal yang berskala kecil tentu akan kalah bersaing dengan
sawit pemodal yang berskala besar. Seperti yang dialami masyarakat di
Paminggir Kalimantan Selatan yang harus eksodus besar-besaran
meninggalkan desanya untuk mencari pekerjaan lain.
Lahan-lahan sawit baru tersebut juga rawan menimbulkan konflik
sengketa lahan dengan masyarakat setempat. Misalnya di Mimika, Papua,
masyarakat sempat berkonflik dengan perusahaan sawit yang dianggap
sering menyerobot lahan dan merusak tanaman sagu masyarakat. Hal yang
memprihatinkan juga menimpa salah satu warga di Seruyan, Kalimantan
Tengah, ia harus dipenjara 6 bulan hanya karena dianggap menyerobot
lahan milik perusahaan, padahal dia hanya bermaksud membersihkan sisa
produksi lahan milik perusahaan tersebut yang mengganggu tanaman sawit
miliknya.
Film dokumenter ini juga mengungkap betapa memprihatinkannya
kerusakan lahan yang disebabkan oleh eksploitasi lahan sawit ini.
industri sawit skala besar merusak ekosistem sekitarnya, sebab lahan
sawit mengkonsumsi air jauh lebih banyak dari tanaman lainnya. Selain
itu, ekspansi lahan sawit juga mengakibatkan berkurangnya lahan mineral
dan menyebabkan meningkatnya lahan gambut yang mudah terbakar akibat
kekeringan. Seiring besarnya pembukaan lahan sawit baru juga
mengakibatkan rusaknya ekosistem sungai, sebab industri kelapa sawit
menimbulkan limbah cair beracun yang mematikan ekosistem sungai dan
meracuni sumber air, belum lagi dampak lahan konsensi sawit yang
menyebabkan banjir dan berbagai dampak buruk lainnya bagi lingkungan.
Meningkatnya lahan gambut di Kalimantan dan Sumatera tak lepas dari
dampak buruk yang disebabkan oleh eksploitasi lahan sawit. Jika terjadi
musim kemarau, maka lahan gambut tersebut sangat rawan mengakibatkan
kebakaran hutan. Pada tahun 2016 tercatat 19 orang meninggal akibat
kebakaran hutan dan ribuan masyarakat mengalami Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) karena kadar polusi udara yang jauh diatas ambang
batas udara sehat. Selain itu di wilayah Riau sempat terjadi kabut asap
selama berbulan-bulan akibat kebakaran hutan yang melumpuhkan aktivitas
warga. Tidak hanya di Riau, kabut asap tersebut hingga sampai ke negara
tetangga yakni Singapura dan Malaysia.
Melalui film ini kita bisa mengetahui bahwa eksploitasi lahan sawit
yang semakin membesar bisa menyebabkan krisis ekologi, politik dan
ekonomi secara berkelanjutan. Selain itu di film ini seakan menunjukkan
kepada kita betapa timpangnya kesejahteraan masyakat setempat dengan
hasil atas produksi lahan sawit di wilayah mereka. Jurang ketimpangan
semakin tajam tatkala sarana produksi dan mata pencaharian masyarakat
disingkirkan oleh perkebunan sawit skala besar yang dimiliki pemodal
besar menggusur lahan dan sumber kehidupan masyarakat kecil. Selain itu,
penguasaan lahan sawit di Kalimantan dan Sumatera juga kebanyakan
dinikmati segelintir pengusaha tanpa memperdulikan kesejahteraan
masyarakat setempat. Fakta mengejutkan juga terungkap bahwa 14 dari 30
orang terkaya di Indonesia yang juga malang melintang di sektor bisnis
ternyata juga memiliki usaha di bidang sawit ini,
Film ini memiliki berbagai keunggulan seperti dengan berani
mengungkap fakta lain dibalik gemerlapnya industri sawit yang
dibanggakan pemerintah, selain itu film ini dikemas dengan gaya karya
jurnalistik yang murni tanpa kepentingan politik maupun komersil
sehingga membuatnya seolah menjadi karya independen yang memperjuangkan
hak-hak masyarakat yang dirampas dengan adanya industri sawit skala
besar. Melalui film ini kita bisa tahu bahwa begitu bahayanya
eksploitasi bagi kelangsungan hidup manusia dan kelestarian alam. Selain
itu dengan melihat film ini bisa menunjukkan kepada kita betapa
timpangnya kehidupan masyarakat terutama di pelosok luar Jawa.
Sedikit kekurangan dalam film ini yakni meskipun dengan begitu berani
menyorot berbagai ketimpangan dan kerusakan akibat industri sawit skala
besar, namun dalam film ini tidak memberikan suatu problem solving
bagaimana seharusnya yang dilakukan pemerintah maupun masyarakat untuk
bisa mengatasi berbagai krisis yang dihadapi akibat meningkatnya
eksploitasi lahan sawit tersebut.
Penulis: Vicky, crew LPM Arrisalah
Editor : Rokib
0 Komentar