Pemilu Raya (PEMIRA) Mahasiswa Fakultas Syariah Dan Hukum (FSH) UIN
Sunan Ampel (UINSA) Surabaya yang dilaksanakan pada Selasa, (13/03/18).
Dalam pelaksanananya banyak menuai tanggapan dari kalangan mahasiswa FSH
khususnya. Sorotan utama para mahasiswa kebanyakan mengenai jumlah
suara yang masuk dalam Pemira tersebut. Bagaimana tidak? Jumlah
mahasiswa aktif FSH tercatatat 500 lebih per angkatan. Jika
dikalkulasikan tentu jumlahnya mungkin lebih dari 2000 orang mahasiswa.
Tentu sebuah perbandingan angka yang sangat jauh dari suara mahasiswa
yang berpartisipasi dalam Pemira yang hanya memperoleh 300 suara itu.
Dua partai yang terdaftar di Komisi Pemilu Mahasiswa Distrik
(KOPURWADI) yaitu, Partai Pergerakan Mahasiswa (PPM) dan Partai
Solidaritas Mahasiswa (PSM). Masing-masing Paslon beserta wakil
melakukan kampanye pada Sabtu, (10/03/18). Kendati demikian, minimnya
sosialisasi dan rendahnya minat mahasiswa dalam pesta demokrasi tidak
mampu mendongkrak jumlah mahasiswa untuk menyumbangkan suaranya dalam
pesta demokrasi di FSH tersebut.
Pemira sebagai ajang demokrasi mahasiswa, sepertinya kurang
mendapatkan banyak perhatian dan antusias dari mahasiswa. Tentunya
karena beberapa faktor yang berbeda-beda dari setiap individunya. Ada
yang memang tidak tau info diadakannya pemira, ada juga yang sengaja
tidak memilih, ada juga yang tidak tahu mengenai sosialisasi dari
masing-masing paslon itu sendiri, sekalipun sudah di selenggarakannya
Kongres Besar Mahasiswa Fakultas (KMBF).
Sebagai mahasiswa hukum yang cerdas juga berintegritas, pastinya
mereka mempunyai selera mengenai pemilihan Ketua DEMA ini. Sudah
semestinya mereka paham tetang hak untuk bersuara dan berpendapat juga
hak untuk memilih dan di pilih. Bahkan untuk tidak memilih pun adalah
suatu pilihan yang tidak bisa di paksakan.
Seorang mahasiswi dari Prodi Hukum Keluarga (HK) mengatakan, “Kalau
warga masyarakat tidak tertarik, jangankan melirik saja tidak, apalagi
menyumbangkan suaranya. Kemungkinan besar yang terjadi adalah karena
kurangnya sosialisasi atau kuranganya kepercayaan kepada masing-masing
paslon” ujarnya. Pendapat ini sangatlah krusial, karena kalau mereka
tidak percaya maka tidak akan muncul rasa simpati ataupun empati atau
bisa dibilang acuh tak acuh.
Adapun pendapat lainnya dari mahasiswa FSH semester enam yang enggan
di sebutkan namanya, “jika Pemira sebagai ajang edukasi, harusnya
memahami kondisi, sebab adanya sarana politik tidak malah menjadikan
mental-mental yang selalu berambisi, apalagi urusan seperti ini.
Seakan-akan kasta dalam politik kampus adalah suatu gengsi, bukan
sebagai motivasi yang nantinya mencetak mahasiswa sebagai agent of change yang berdedikasi”
Anggapan mereka bahwa, memilih atau pun tidak memilih juga tidak akan
berpengaruh besar dalam hidupnya sebagai mahasiswa FSH. Karena pada
kenyataannya mereka sendiri juga kurang sebegitu paham mengenai peranan
dari DEMA itu sendiri. Bahkan ironisnya, mereka selalu menganggap bahwa
kepemimpinan mereka seakan-akan seperti bayangan penumbra saja.
Mahasiswa yang semestinya bisa bertindak sebagai agent of change
di era sekarang harus lebih mampu untuk memberikan perubahan, baik pada
dirinya juga pada masyarakat pada khususnya. Berkaca pada banyaknya
kasus mahasiswa dalam mengadakan pesta demokrasi hanya berdasarkan
ambisi semata tanpa adanya kerja nyata dalam program kerja serta visi
misi yang dicanangkannya, membuat mahasiswa memiliki stigma negatif
tentang pesta demokrasi ala mahasiswa tersebut. Padahal apa yang
disangkakan publik tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Masih ada
mahasiswa yang dengan berani maju dalam kontestasi demokrasi tersebut
dengan tekad perjuangan yang memang ingin memberikan perubahan dan
mendongkrak prestasi dari hari kehari, khususnya bagi mahasiswa
fakultasnya. Sebagaimana yang dikatakan Kholilur Rohman selaku ketua
DEMA periode 2018. Seusai pelantikan, dia menyampaikan bahwa mahasiswa
FSH tahun ini harus mejnadi lebih baik, baik dalam organisasi DEMA
maupun lainnya,
Sekalipun masih banyak mahasiswa yang belum berpartisipasi dalam
pesta demokrasi, atau bahkan sebagian besar menilai bahwa terpilihnya
ketua DEMA berdasarkan aklamasi. Hal ini tidak menutup harapan ketua
DEMA untuk selalu mendukung kemajuan prestasi Mahasiswa FSH, terlebih
untuk selalu menjadikan FSH menjadi lebih baik lagi, baik dari segi
legal culture, legal substance dan legal structure nya.
Pada akhirnya, seorang pemimpin yang sudah terpilih secara demokrasi
ataupun aklamasi, mereka tetap terikat janji setianya. Atas nama Tuhan
Yang Maha Esa, mereka telah berkata, akan selalu setia kepada Pancasila,
UUD NRI 1945 sebagai landasannya. Kepada Indonesia pada umumnya juga
mahasiswa pada khususnya mereka berkhidmat untuk umat dan berdedikasi
untuk negeri. Bukan hanya telinga dan mata sebagai saksinya, tapi
semesta dan seisinya sebagai saksinya. Secara demokrasi ataupun
aklamasi, semoga saja mereka tidak wanprestasi dan selalu berprestasi.
Mari kita kawal Demokrasi.
Penulis: Ria Cahyaning U, Mahasiswa FSH UINSA
Editor: Rokib
0 Komentar