Oleh: Lutfil Ansori
Wacana Pencabutan Hak Politik sebagai Pidana Tambahan
Dalam sejarah bangsa Indonesia, sejak bergulirnya reformasi isu pemberantasan korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN) menjadi tema sentral dalam penegakan hukum di
Indonesia. Fenomena ini dapat dimaklumi, mengingat dampak negatif dari korupsi
yang sangat merugikan negara. Korupsi menjadi ancaman bagi bangsa Indonesia
yang membahayakan tatanan masyarakat, pembangunan sosial, serta dapat merusak
nilai-nilai moralitas bangsa Indonesia.
Fenomena tersebut semakin menjadi dengan maraknya para pejabat publik dan
tokoh politik yang terjerat kasus korupsi. Dalam
prespektif politik hal tersebut telah
menunjukkan suatu pencideraan dan pengkhianatan terhadap amanah yang telah
diberikan oleh rakyat. Oleh karena itu, diperlukan tindakan-tindakan yang dapat
menimbulkan efek jera pada pelaku tindak pidana korupsi. Korupsi adalah
perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan orang lain atau negara[1].
Korupsi
merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan
berkelanjutan, sehingga memerlukan langkah-langkah terobosan dalam melakukan
pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis dan
berkesinambungan baik dalam tingkat nasional maupun internasional.
Terobosan tersebut tidak lain untuk memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi dan sekaligus diharapkan dapat
meredam siapapun untuk tidak melakukan korupsi. Salah satu terobosan terbaru
adalah dengan menerapkan sanksi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik, yakni hak untuk memilih dan dipilih dalam jabatan
publik sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[2]
Hukum
pidana Indonesia telah memberikan dasar yuridis untuk melakukan pencabutan
hak-hak tertentu sebagai bentuk pidana tambahan.[3]
Dalam praktik selama ini, pencabutan hak tertentu tersebut dimaknai salah
satunya adalah berupa pencabutan hak menduduki jabatan publik. Hal ini
dilakukan agar memberikan perlindungan kepada masyarakat dari perilaku pejabat
yang menyimpang.
Namun
dalam prespektif hak asasi manusia, pencabutan hak politik terpidana masih
menjadi polemik yang banyak dipertanyakan oleh beberapa pihak. Karena meskipun
terpidana adalah orang yang secara hukum bersalah dan harus menjalankan hukuman
yang telah diputuskan pengadilan, namun memiliki hak yang tetap harus
dilindungi oleh negara. Terutama berkaitan dengan hak asasi manusia yang
melekat dalam diri manusia dan tidak dapat dihapuskan, serta merupakan hak kodrati.[4]
Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada manusia sebagai manusia. Hak ini
bersifat fundamental, universal, dan tidak dapat dipisahkan dari dimensi
kehidupan manusia (inalienable rights).
Pasal
4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur mengenai
hak manusia yang bersifat mutlak (non derogable), yaitu hak untuk hidup;
hak untuk tidak disiksa; hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani; hak
beragama; hak untuk tidak diperbudak; hak untuk diakui sebagai pribadi dan
persamaan di hadapan hukum; dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut. Sedangkan hak yang bersifat dapat ditangguhkan/dikurangi pelaksanaannya
(derogable right) yaitu: hak untuk bekerja; hak untuk menikmati kondisi
kerja yang adil dan baik; hak untuk membentuk dan ikut dalam organisasi; hak
mendapatkan pendidikan; hak berpartisipasi dan berbudaya (hak ekonomi, sosial,
dan budaya).
Namun
menurut Undang-Undang Internasional Hak Asasi Manusia (International Bill of
Rights), hak sipil dan politik yang dapat direstriksi/dibatasi adalah hak
mempunyai pendapat, hak kebebasan berkumpul secara damai, dan hak kebebasan
berserikat. Restriksi didasarkan pada kepentingan keamanan nasional atau
keselamatan umum, ketertiban umum, dan kesusilaan umum atau perlindungan
terhadap hak dan kebebasan orang lain.
Terpidana
dalam negara hukum, pada dasarnya orang yang dinyatakan bersalah oleh sistem
hukum yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Meskipun bersalah terpidana
memiliki hak-hak dasar yang bersifat non derogable rights tersebut.
Dalam konsep negara hukum dan welfare state, negara dan aparaturnya
memiliki kewajiban untuk menegakkan keberlanjutan hak terpidana. Sehingga pada
saat menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana harus diperhatikan keberlanjutan
hak-hak non derogable khususnya terhadap hak kebebasan pribadi, pikiran,
dan hati nurani. Pembatasan terhadap hak ini harus tegas dijelaskan secara
limitatif, karena menyangkut keberlangsungan kehidupan dan masa depan manusia
meskipun ia menjadi terpidana.
Tentunya pencabutan hak politik tersebut menimbulkan berbagai pro dan kontra. Pendapat yang
setuju mengatakan bahwa hal tersebut perlu diberikan agar terpidana tidak melakukan
kesalahannya lagi serta memberikan efek jera. Sedangkan pendapat yang menolak
mengatakan bahwa hak politik merupakan salah satu hak asasi manusia yang
seharusnya dilindungi dan diakui dalam negara hukum Indonesia.
Penerapan Pencabutan Hak Politik Terpidana Tindak Pidana
Korupsi
Penerapan pencabutan hak politik bukanlah sesuatu yang
inkonstitusional dan telah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. pertama, dasar hukum
pencabutan hak politik telah termaktub dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), yakni pada huruf b ayat (1) terkait pencabutan hak-hak tertentu.
Elaborasi Pasal 10 tersebut terdapat Pasal 35 ayat 1, yang menyatakan bahwa
“Hak-hak terpidana yang dengan putusan Hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang
ditentukan dalam kitab Undang-undang ini.”.
Pada
angka 3 secara tegas menyatakan “hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang
diadakan berdasarkan aturan-aturan umum”. Hal tersebut juga tertuang secara lex specialis dalam Pasal 18 ayat (1)
huruf d UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
sebagai berikut:
“pencabutan
seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian
keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada
terpidana.”
Kedua,
memang
hak politik telah diatur di dalam UUD NRI 1945 yakni terdapat dalam pasal 28D
ayat (3) yang merumuskan bahwa “setiap warga negara berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Namun konstitusi negara Indonesia
telah menetapkan suatu bentuk limitasi atau pembatasan terhadap pemberlakuan hak asasi manusia (derogable rights). Alasan
diperbolehkannya adanya derogasi adalah suatu keadaan darurat yang esensial dan
mengancam kelanjutan hidup suatu negara, dan ancaman esensial terhadap keamanan
nasional dan disintegrasi bangsa.[5] Limitasi tersebut
telah ditegaskan dalam Pasal 28J UUD NRI 1945 ayat (1) dan (2).[6]
Selanjutnya
turunan dari pasal 28J UUD NRI 1945 tersebut,
yakni Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang
secara tegas menyatakan bahwa hak-hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-Undang
Hak Asasi Manusia ini dapat dibatasi (dicabut) oleh dan berdasarkan undang-undang
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia dan
kebebasan orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.[7]
Sehingga
pada hakikatnya hak asasi manusia dapat dibatasi melalui undang-undang, maka
dari itu dalam pencabutan hak politik harus jelas dan tegas memuat limitasi
waktu pencabutan agar tidak melanggar hak asasi manusia terpidana. Roeslan
Saleh menegaskan masuknya pencabutan hak-hak tertentu dalam KUHP dikarenakan pembentuk Undang-Undang
menganggap hukuman tambahan tersebut patut. Kepatutan bukan karena ingin
menghilangkan kehormatan seseorang, melainkan karena alasan lain seperti
pencegahan khusus.[8]
Hal
ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/PUU/VII/2009 yang
menetapkan hukuman pencabutan hak politik adalah konstitusional dengan
batasan-batasan tertentu, yakni terbatas pada jangka waktu selama 5 (lima)
tahun sejak terpidana selesai menjalani pidananya. Menurut Van Bemmelen hukum
pidana dikatakan memotong daging sendiri (criminal law to mutilation body
self). Di satu sisi hukum pidana melindungi HAM pihak korban, namun
di sisi lain melanggar HAM pihak pelaku, tetapi hal tersebut tetap harus
dilakukan sepanjang memenuhi dasar yuridis untuk menerapkannya.[9]
Ketiga,
tindak pidana korupsi merupakan jenis tindak pidana yang bersifat extra
ordinary crime sehingga penegakannya juga harus bersifat luar biasa (extra
ordinary enforcement). Penegakan terhadap tindak pidana korupsi
dengan menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih
atau hak politik merupakan implementasi penerapan pidana yang bersifat extra
ordinary enforcement. Keempat, secara politik fenomena korupsi
yang dilakukan oleh pejabat publik menunjukkan bahwa telah terjadi penghianatan
terhadap amanah yang diberikan rakyat. Sehingga pencabutan hak politik
merupakan terobasan sistemik guna menjerakan dan meminimalisir terjadinya
korupsi.
Dari uraian diatas terlihat
bahwa sejatinya
pencabutan hak politik merupakan hukuman yang tepat bagi pelaku tindak pidana
korupsi. Penerapannya menjadi urgen karena pencabutan hak memilih dan dipilih
merupakan sarana penal untuk menanggulangi tindak pidana korupsi yang memiliki
efek penjeraan bagi terpidana dan efek pencegahan bagi masyarakat. Mengingat tindak
pidana korupsi merupakan jenis tindak pidana yang bersifat extra ordinary
crime, sehingga
penegakannya harus bersifat extra ordinary enforcement.
Pencabutan
hak politik merupakan implementasi penerapan pidana yang bersifat extra
ordinary enforcement. Namun
demikian, hak politik merupakan bagian dari hak asasi manusia. Oleh karena itu,
pencabutan hak politik harus tegas memuat limitasi waktu pencabutan agar
tidak melanggar hak asasi manusia terpidana.
Pembentuk Undang-Undang perlu melakukan
sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait dengan
pencabutan hak politik terpidana tindak pidana korupsi dengan merujuk putusan
Mahkamah Konstitusi, sehingga pencabutan hak politik dalam penerapannya tidak
melanggar hak asasi manusia dan sejalan dengan amanat konstitusi.
*Penulis merupakan dosen Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Ampel Surabaya
[1]
M. Marwan & Jimmy P., Kamus Hukum,
(Yogyakarta: Gama Press, 2009), hlm. 384.
[2] Pasal 18
ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan dengan tegas
bahwa selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah pencabutan seluruh atau sebagian
hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu,
yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
[3] Lihat Pasal 10 huruf a angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
yang kemudian diperjelas dalam Pasal 35 ayat (1) angka 1 undang-undang yang
sama.
[4] Warih Anjari, “Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi dalam
Prespektif Hak Asasi Manusia”, Jurnal
Yudisial, Vol. 8 No. 1, April 2015, hlm. 25
[5] Rhona K.
M. Smith, dkk., Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Pusat
Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), 2008), hlm. 42
[7]Lihat Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 199 tentang Hak Asasi
Manusia.
[8]Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, 1960), hlm. 19
0 Komentar