Doc. Arrisalah
Sexy Killers, sebuah film dokumenter karya Watchdoc
Documentary dan Ekspedisi Indonesia Biru yang menyajikan bagaimana film ini
secara langsung memberikan informasi dan menyadarkan bahwa sumber energi di
Indonesia telah mengancam jiwa warga, khususnya warga pedesaan. “Nonton Bareng
dan Diskusi” Sexy Killers telah dilakukan di beberapa kota,
salah satunya di Surabaya yang diadakan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Surabaya, Jumat (12/4).
Fenomena
pendirian industri batu bara yang kian meradang di Indonesia telah menjadi
salah satu bisnis energi yang dapat membunuh ekosistem bahkan sudah banyak
korban jiwa dari semua kalangan umur. Acara yang dimonitori oleh beberapa
aktivis dari kalangan mahasiswa yang tergabung dalam Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (WALHI), Surabaya Melawan, Front Nahdliyin untuk Kedaukatan Sumber
Daya Alam (FKNSDA), LBH Surabaya dan beberapa komunitas yang lain. Anstusiasme
peserta kegiatan ini sangat tinggi, hingga ruang pelaksanaan tidak mampu
menampung peserta dan pada akhirnya pemutaran film harus dilakukan dua kali
untuk memberi kesempatan bagi yang belum menonton film tersebut.
Film tersebut
merupakan hasil perjalanan dua jurnalis dan videografer, Dandhy Dwi Laksono dan
Ucok Suparta yang mengelilingi Indonesia dengan menempuh perjalanan selama satu
tahun dengan bersepeda motor menyusuri wilayah-wilayah di Indonesia dari
Jawa, Bali, Sumba, Papua, Kalimantan hingga Sulawesi.
Sexy Killers menyajikan sisi lain dari
pembangunan infrastruktur yang sering diagung-agungkan selama ini. Hal ini tak
lepas dari pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara di mana
korban-korban dari pembangunan tersebut merupakan kalangan dari petani,
nelayan, dan kelompok pedesaan yang lain.
Imbas dan
Korban
Beroperasinya
PLTU memberikan imbas yang besar terhadap warga sekitarnya. Polusi dari
pembakaran batu bara yang dibuang di udara mengandung senyawa merkuri dan PM
(Particular Matter) 2,5. PM merupakan partikel berbahaya yang dapat membunuh
melalui sistem pernapasan yang dihirup secara terus menerus.
Akibat lubang-lubang
setan yang tak direklamasi, PM 2,5 menumpuk di paru-paru akan
menyebabkan munculnya penyakit pada pernapasan baik asma, jantung, maupun
penyakit lainnya. Jika semakin parah, akan memicu kematian dini. Dalam film
tersebut mengutip hasil penelitian yang dilakukan oleh Greenpeace dan
Universitas Hardvard, estimasi kematian dini yang diakibatkan polusi dari
dampak berdirinya PLTU di Indonesia dapat mencapai 6.500 jiwa per tahun.
Disebutkan pula,
tepat di Kalimantan Timur sejak tahun 2011—2014 telah menelan 32 jiwa dan
2014—2018 meningkat hingga 115 jiwa. Gubernur Kalimantan Timur dimintai
pendapat tentang hal tersebut oleh seorang wartawan dalam cuplikan film, ia
mengatakan “Ya, itu nasib dia meninggal di dalam lubang danau tambang”.
Tak hanya udara,
air bersih yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat Kalimantan Timur sudah
lama menjadi sejarah. Air yang digunakan untuk minum, memasak, mencuci telah
tercemar dengan limbah-limbah perusahaan tambang,
sehingga air yang digunakan berwarna keruh dan berbau. Seolah-olah warga
terpaksa menimbun penyakit dalam dirinya, sementara ketika diperiksakan pada
Puskesmas setempat, pihak kesehatan (red: dokter) yang mengetahui kronologi
penyebab penyakit itu pun tak berani mengungkapkan.
“Saya ya tidak
berani mengatakan, kalau penyakit yang dialami warga itu penyebabnya dari
adanya polusi perusahaan tambang itu. Takut dituntut,” katanya.
Di sisi lain,
mata pencaharian nelayan juga turut memprihatinkan. PLTU di Batang, Jawa Tengah
yang dinobatkan sebagai PLTU terbesar se-Asia Tenggara membutuhkan 6000 ton
batu bara per bulannya. Proses pengangkutan batu bara dari Kalimantan ke Jawa
menggunakan jalur laut yang nyatanya menuai dampak cukup besar bagi nelayan.
Terumbu karang
dan ekosistem laut lainnya hancur akibat jangkar kapal-kapal tongkang batu
bara, ditambah tumpahan bara ke dasar laut. Penghasilan nelayan tak sebaik
dulu, yang biasanya pulang membawa ikan, kini pulang dengan keadaan tangan
kosong.
Dalam cuplikan
film yang berdurasi 88 menit tersebut, terdapat pernyataan seorang ibu petani
di Kalimantan Timur yang geram karena ia dihadapkan langsung dengan proyek
kotor industri penambangan batu bara.
“Dulu sebelum
ada bangunan batu bara, sawah tidak rusak, tidak amburadul. Sejak ada tambang,
rakyat kecil malah sengsara. Rakyat besar yang enak! Ongkang-ongkang kaki dapat
uang. Kalau kita terima apa? Terima imbasnya, lumpur!” keluhnya dengan nada
kesal.
Mengapa Harus
Pemilu?
Film dokumenter
ini seolah hadir untuk melawan kampanye-kampanye kedua paslon Calon Presiden
(Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres). Pemutaran yang dilakukan sebelum
pemilu merupakan salah satu bentuk strategi sosialisasi kepada masyarakat akan
pentingnya melihat rekam jejak kedua paslon yang akan kita pilih. Pemilu
merupakan momentum terbaik untuk meneriakkan aspirasi dan kritik masyarakat
akan pemerintah, serta sebagai penentu nasib negara kita, bukan hanya dalam
segi sosio-ekonomi, namun juga menentukan ekologi alam di Indonesia.
Penderitaan
masyarakat akibat pembangunan industri tambang batu bara tak lepas dari kedua
paslon Capres dan Cawapres. Pasalnya, tidak ada satu pun kandidat yang tidak
dibiayai oleh para oligarki tambang, hal ini juga dilakukan dalam pemilihan
legislatif. Pada paslon Jokowi-Ma’ruf, terdapat nama Jusuf Hamka, Luhut Binsar
Pandjaitan, Oesman Sapta Odang, Andi Syamsudin Arsyad, Suaidl
Murasabessy, Fachrul Razi, Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Jusuf
Kalla, Hary Tanoesoedibjo, dan Wahyu Sakti Tenggono.
Dalam paslon
Prabowo-Sandi, yakni terdapat nama Hutomo Mandala Putra, Maher Al-Gadrie,
Hashim Djojohadikusumo, Zulkifli Hasan, Sudirman Said, dan Ferry Mursyidan
Baldan. Nama-nama mereka lah yang berada di belakang dan menjadi bagian dari
penyandang dana kedua paslon.
Dalam diskusi
malam itu dipaparkan, tercatat Sandiaga Uno merupakan pengusaha tambang,
beberapa di antaranya PT. Saratoga Investama Sedaya, PT. Recapital Advisors,
dan Adaro Energy. Begitu pula dengan Ma’ruf Amin, ia terlibat dalam pemberian
stempel bagi saham yang dimiliki oleh beberapa perusahaan batu bara di
Indonesia, yang mana dalam layar pemaparan pemantik malam itu bertuliskan
“halal”.
Rere (WALHI
JATIM) selaku pemantik menyatakan, golput dan memilih bukanlah solusi untuk
kita menyelamatkan nasib para korban dan memberantas kasus-kasus miris yang
terjadi saat ini. Ia mengajak peserta yang datang bukan sebagai musuh
pemerintah, namun sebagai agent of social control dan
melakukan aksi demi perubahan terhadap alam dan sosio-ekonomi Indonesia.
“Milih nggak akan
mengubah keadaan apapun, nggak milih juga nggak akan
mengubah keadaan apapun. Tindakan politik itu bukan hanya sekedar nyoblos
atau nggak nyoblos, bukan sekedar itu. Tindakan politik adalah
berusaha memperjuangkan kasus-kasus yang sekarang, berusaha melakukan
pendampingan terhadap masyarakat yang sekarang dihadapi, melakukan koordinasi
baik dari diri kita sendiri sebagai bagian dari masyarakat sipil. Kalau
tindakan politiknya hanya sekedar nyoblos atau tidak nyoblos sementara kasus-kasus
kerap terjadi, lalu kemudian tidak melakukan usaha untuk melakukan penguatan
kepada mereka (red: korban), tidak akan pernah ada perubahan apapun,” paparnya.
(Hidayah/Syafik/Tiyaz)
0 Komentar