(Doc. Google)
Sejarah pers di Indonesia telah mengaharu biru,
berdarah-darah mulai dari usaha perizinan operasional, publikasi, kekerasaan
pada pers, sampai pada pembungkaman media. Banyak sejarah kelam nan hitam dari
media pers, seperti yang diceritakan oleh Gunawan Mohammad dalam buku “Seandainya
Aku Wartawan Tempo”. Dalam buku tersebut, Gunawan menganggap bahwa Tempo sudah dianggap
sebagai anaknya sendiri yang dirawat setiap harinya dengan baik, namun pada
akhirnya harus dibredel dan dibunuh oleh pemerintah.
Media pers atau media massa mempunyai peranan
yang begitu penting bagi sejarah kemerdekaan Indonesia, dari media massa kita dapat
mengetahui bahwa Jepang menyerah pada sekutu. Sehingga, membuat pemuda Indonesia bergairah
dengan semangat nasionalisme, menjadikan Indonesia merdeka pada saat Vacum
of Power atau kekosongan kekuasaan yang terjadi di Indonesia dikarenakan Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, pada saat itu tentara sekutu belum datang ke Nusantara dan terjadinya kekosongan kekuasaan. Serangkain kejadian tersebut mulai dari Rengasdengklok sampai Proklamasi Indonesia
pada 17 Agustus 1945.
Masa orde baru, media pers hanya tersisa badan sedangkan ruh telah dikungkung oleh tangan-tangan besi pemerintah. Pers
hilang tanpa jejak, pembredelan media pers sehingga mati langkah, suara
kritikan yang dituangkan mulai habis tak tersisa sebab tanpa segan-segan yang
bersuara kritikan terhadap pemerintah akan dibabat habis sampai ke
akar-akarnya. Meski yang dibicarakan suatu kebenaran yang sesuai dengan fakta dan data, tetap saja dianggap
kebenaran yang salah.
Ketika masa reformasi, BJ Habibie membuka diri atas kritkan dari media setelah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 di dalam
ayat 1 disebutkan bahwa “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi
warga negara”, ayat 2 berbunyi “Terhadap pers nasional tidak dikenakan
penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran”, ayat 3 bahwa “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional
mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan
informasi”, ayat 4 bahwa “Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di
depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak bahkan dalam Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak
untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia”.
Seyogyanya, Undang-Undang tersebut menjadi pacuan semangat menata
kembali media yang dulunya mati rasa kembali menjadi alat formasi rakyat dan
kritik pemerintah. Nafas segar itu menjadi hal yang positif bagi
pers, karena dengan begitu mereka bisa bekreasi, berinovasi, dan berbicara fakta secara data tanpa dusta.
Namun, dengan adanya UU tersebut tidak
langsung membuat kekerasan terhadap pers menjadi
lenyap. Masih banyak kekerasan dan usaha pembungkaman
yang dilayangkan terhadap pers. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengeluarkan data kekerasaan yang paling sering
menimpa para pewarta berita adalah kekerasan fisik. Sepanjang 2014
hingga 2018, terdapat 124 kasus kekerasan fisik. Pengusiran atau
pelarangan liputan menjadi kasus kekerasan kedua terbanyak, mencapai 52 kasus.
Kasus kekersaan basis data tersebut, menjadi indikasi kuat bahwa pers akan sulit untuk bebas mengeluarkan pendapatnya. Meyangkut paut pada pihak negara, hal ini menjadi problem bahwa kebebasan yang ditawarkan hanya sekedar kebebasan semu, sampai sekarang pers belum bebas menjalankan tugasnya, karena kekerasan masih
mengintainya setiap saat.
Sejatinya, media pers harus mempunyai ruang yang bebas berkreasi dalam
mengumpulkan informasi tanpa ada kekersaan yang menimpanya. Jika hukum kebebasan pers dijunjung tinggi, maka pers dengan sendirinya akan mendapatkan porsi dan haknya sebagai pers
yang menyiarkan informasi secara obyektif sehingga menjadi lumbung informasi
bagi rakyat yang baik.
Hal terpenting
dalam merefleksikan Hari Pers Nasional yakni untuk selalu memperjuangkan kebebasan
pers, karena suara media pers harus terdengar di segala penjuru semesta. (Ody)
0 Komentar