Shalat Jumat di UINSA Tidak Sah?

Ditulis Oleh: Alfian Muslim Pris Firdaus

Editor: Erij

Masjid Uinsa A. Yani | Dokumentasi Arrisalah

Topik ini barang kali sudah sering dibahas di kalangan mahasiswa UINSA. Saya termasuk mahasiswa yang awalnya cuek-cuek saja mengenai hal tersebut. Sampai seorang kolega dekat memilih shalat jumat di luar setelah saya ajak untuk shalat jumat di masjid UINSA A. Yani. Ketika saya tanya, dia menyatakan keteguhannya mengikuti mazhab Syafi’i.

Kami memang sempat berdiskusi ringan setelah shalat hari itu, namun karena saya tidak mampu menjawab pertanyaan yang diajukan, diskusinya terhenti. Pada tulisan ini Saya akan coba menjawab pertanyaan kolega saya tersebut, sekaligus menjelaskan kepada pembaca yang belum mengerti duduk perkaranya. 

Cerita bermula pada saat beredarnya kabar tentang seorang mahasiswa UINSA program studi perbandingan mazhab yang menulis skripsi dengan tema keabsahan shalat jumat di masjid raya ulul al-bab UINSA A. Yani. Kabarnya mahasiswa tersebut telah meneliti para jama’ah sholat jumat masjid ulul al-bab (masjid UINSA A. Yani) selama beberapa bulan. Singkatnya, dia mendapati bahwa jama’ah yang berdomisili di Jemur Sari hanya kurang dari 10 orang. Selain dari kesepuluh orang tersebut, 100 orang lebih sisanya adalah dosen dan mahasiswa yang menginap di wilayah setempat. Hal ini berimplikasi pada tidak terpenuhinya syarat sah shalat jumat, yang berarti shalat jumat yang diselenggarakan masjid ulul al-bab UINSA tidak sah.

Pertanyaannya, benarkah demikian?

Para imam empat mazhab sepakat bahwa shalat jumat hukumnya fardlu ‘ain (kewajiban yang mengikat bagi tiap individu) berdasarkan Al-Qur’an, Hadis dan Ijma’. Bagi yang tertinggal melaksanakan shalat jumat, maka diwajibkan shalat dhuhur empat rakaat.(Al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Mazhahib al-‘Arba’ah, juz 1, hal 342)

Adapun dalam syaratnya, terdapat syarat wajib dan syarat sah. Secara umum, syarat-syarat yang terdapat dalam shalat jumat sama dengan shalat dhuhur, ditambah dengan syarat-syarat tambahan yang khusus dalam shalat jumat. Ulama empat mazhab juga tidak banyak berbeda dalam syarat wajibnya. Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam hal syarat sah, terutama pada syarat jumlah jama’ah dan domisili.

Dua syarat terakhir inilah yang menjadi polemik keabsahan shalat jumat di masjid UINSA A. Yani. Meskipun sebenarnya ada banyak lagi pembahasan seputar shalat jumat yang kompleks dan menjadi perdebatan tajam. Namun marilah kita fokuskan pembahasan tulisan ini pada dua hal tersebut.

Pertama, perlu diketahui perbedaan istilah musafir, muqim, dan mustawtin atau mutawattin. Ketiga istilah tersebut adalah Bahasa Arab yang saya eja ke dalam Bahasa Indonesia. Berikut arti setiap kata dalam kamus Arab-Indonesia al-Munawwir:

1.    Musafir: Orang yang bepergian

2.    Muqim: Kediaman sementara

3.    Mustawtin: Bertempat tinggal

Kedua, empat mazhab fikih berbeda pendapat mengenai jumlah kehadiran jama’ah yang menjadi syarat sah pelaksanaan shalat jum’at. Mazhab Hanafi mensyaratkan minimal dihadiri tiga orang selain imam yang berarti empat orang. Mazhab Maliki dua belas orang selain imam. Mazhab Syafi’i dan Hambali 40 orang selain imam.

Imam Zakariya al-Ansari, salah seorang pembesar mazhab Syafi’I dalam kitabnya asna al-Mathalib fi syuruhi roudi al thalib memberikan syarat bagi 40 orang tersebut adalah orang yang menetap atau berdomisili di wilayah tersebut (mustawtin atau mutawattin), bukan orang yang sedang bepergian (musafir) atau muqim (bermukim sejenak atau tinggal sementara). Hal ini berlaku pula dalam mazhab Maliki yang mensyaratkan 12 orang tersebut adalah orang yg berdomisili (menetap permanen) di wilayah tersebut, bukan musafir atau mukim. Apabila terdapat salah satu dari dua belas jama’ah tersebut yang bukan penduduk setempat, maka shalat jumat tidak sah dilaksanakan.(Malik Ibn Anas, al-Mudawwanah)

Adapun mazhab Hanafi adalah yang paling toleran dalam masalah ini. Pemuka mazhab Hanafi, Imam al-Sarakhsi dalam kitab al-Mabsuth mengatakan bahwa meskipun musafir tidak diwajibkan shalat jumat, akan tetapi tetap dapat menjadikan keabsahan shalat jumat. Berikut redaksinya:

وَاشْتِرَاطُ الْجَمَاعَةِ ثَابِتٌ مُطْلَقًا ثُمَّ يُشْتَرَطُ فِي الثَّلَاثَةِ أَنْ يَكُونُوا بِحَيْثُ يَصْلُحُونَ لِلْإِمَامَةِ فِي صَلَاةِ الْجُمُعَةِ حَتَّى أَنَّ نِصَابَ الْجُمُعَةِ لَا يَتِمُّ بِالنِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ وَيَتِمُّ بِالْعَبِيدِ وَالْمُسَافِرِينَ لِأَنَّهُمْ يَصْلُحُونَ لِلْإِمَامَةِ فِيهَا

Terjemah: Syarat jama’ah (dalam shalat jumat) mutlak adanya. Wajib bagi ketiganya memenuhi prasarat atau kondisi yang layak menjadi imam dalam shalat. Dengan alasan ini juga shalat jumat tidak akan memenuhi kuorum apabila jama’ah diisi oleh Perempuan dan anak kecil (belum baligh). Kecuali budak dan musafir karena keduanya dapat menjadi imam shalat.  

Lalu bagaimana solusinya?

Benarlah memang apa yang dipahami oleh teman saya tersebut. Bahkan dia menyebut beberapa dosen juga tidak shalat di masjid UINSA karena mengikuti mazhab Syafi’i secara tulen. Teman saya tersebut berkenan shalat di masjid UINSA A. Yani jika menemukan pendapat mazhab Syafi’i yang memperbolehkan atau mensahkan shalat jumat di masjid UINSA.

Sejawat saya di Mesir menunjukkan kepada saya redaksi berikut:

قال السبكي: لم يقم عندي دليل على عدم انعقادها بالمقيم غير المتوطن.

Terjemah: Imam al-Subkhi berkata: Saya tidak menemukan dalil yang kuat atas ketidakabsahan shalat jumat bila dihadiri oleh orang yang bermukim sementara (bukan permanen)

Teks (Ibarah) ini terdapat dalam kitab Busyro al-Karim bi Syarh Masail al-Ta’lim, karangan Sa’id Muhammad Baa ‘Aliy Baa’isyn al-Hadhrami al-Syafi’i. Sedangkan redaksi yang dikutip adalah ungkapan imam Taqiyuddin al-Subkhi, salah seorang ahli hadits, tafsir, ushul fiqh, nahwu dan shorof, sastra. Beliau disebut-sebut sebagai Imam besar mazhab Syafi’I di Mesir.

Selanjutnya, Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya juga menyatakan:

ويظهر لي أن الجمعة تتطلب الاجتماع، فمتى تحققت الجماعة الكثيرة عرفًا، وجبت الجمعة وصحت، وليس هناك نص صريح في اشتراط عدد معين. والجماعة في الجمعة شرط بالاتفاق، إذ كان معلومًا من الشرع أنها حال موجودة في الصلاة. فإن سبق أحد المصلين بركعة، صحت جمعته، وأتى بركعة ثانية، فإن لم يدرك مع الإمام ركوع الركعة الثانية، أتم صلاته ظهرًا، والدليل ما رواه النسائي وابن ماجه والدارقطني عن ابن عمر قال: قال رسول الله ﷺ: «من أدرك ركعة من صلاة الجمعة وغيرها، فليضف إليها أخرى، وقد تمت صلاته».

Terjemah: Jelaslah bagi saya bahwa shalat jumat membutuhkan sebuah kehadiran jamaah. Di manapun berkumpul jamaah yang banyak sesuai adatnya maka diwajibkan untuk mendirikan shalat jumat dan shalatnya dianggap sah. Tidak ditemukan nash syar'i yang mensyaratkan jamaah dalam jumlah tertentu. Namun, adanya jamaah dalam shalat Jumat merupakan syarat yang disepakati oleh para ulama, sebab telah ditetapkan dalam syariat bahwa pembahasan tentang jamaah ada dalam shalat. Jika ia mendahului salah seorang jamaah dengan satu rakaat, maka shalat Jumatnya sah dan ia harus mengerjakan rakaat kedua. Jika ia tidak menyusul imam pada ruku’ kedua, maka ia harus menyempurnakan shalatnya di waktu zuhur. Dalilnya adalah yang diriwayatkan oleh al-Nasa’i, Ibnu Majah, dan ad-Darqutni dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, yang berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menyusul satu rakaat shalat Jumat atau shalat lainnya, maka hendaklah ia menambah satu rakaat lagi, dan shalatnya telah sempurna.”

 

Berdasarkan kedua pendapat di atas, saya rasa telah cukup untuk meyakinkan, bahwa dalam konteks pembahasan ini shalat jumat di UINSA tetap bisa dianggap sah. Selain karena kedua ulama di atas adalah ulama yang diakui keilmuannya, para jama’ah masjid ulul al-bab UINSA A. Yani juga adalah guru besar dan professor yang sangat paham mengenai fikih.


0 Komentar